Cerita Rakyat
Cerita Rakyat dari Kampar, Riau
"Lancang Kuning "
Pada zaman dahulu kala di sebuah negeri yang disebut Kampar, adalah seorang janda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reot bersama anak lelakinya yang bernama lancang. Sang ibu bekerja menggarap ladang sedangkan si anak laki-lakinya (lancang) menggebala ternak orang lain. Waktu terus berlalu hingga lancangpun merasa bosan dan lelah dengan keadaannya yang miskin dan serba kekurangan. Lancang berkeluh kesah kepada ibunya,
“Emak, Lancang sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” pinta si lancang.
“Baiklah Lancang, kau boleh merantau, tapi jangan lupakan emakmu, besok kamu boleh berangkat. Nanti malam emak akan buatkan dodak untuk bekalmu”. Dengan berat hati ibu Lancang mengijinkan Lancang untuk pergi merantau mengadu nasib. Si Lancang meloncat-loncat dengan gembiranya, namun emak sedih melihat anaknya akan pergi meninggalkannya. Si lancang menghibur emak yang sedih.
Tahun demi tahun telah terlewati, benar saja lancang telah menjadi saudagar yang kaya raya, hingga suatu hari dengan segala kemewahan dan kekayaan yang dimilikinya lancang beserta istri-istrinya berlayar menuju andalas. Sampailah mereka di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang.
Penduduk sekitarpun berdatangan melihat kapal nan megah yang ternyata adalah Lancang yang lama pergi telah kembali ke kampung halamannya. “Oh, akhirnya pulang juga si Lancang”. Betapa senang hati Emak (ibu lancang) melihat anak kesayangannya telah kembali. Emak bergegas bangun dari tempat tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anaknya.
Emak lancang tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang, ia memberanikan diri menaiki kapal si Lancang. “Hai perempuan jelek, jangan menaiki kapal ini, pergi!!!!” anak buah kapal mengusir emak.
“Tapi aku ini adalah emak si Lancang” kata emak.
“Bohong, dia bukan emakku, usir permpuan gila itu” si Lancang meminta anak buah kapal untuk mengusir emaknya. Kemudian, anak buah kapal mengusir emak dan mendorongnya hingga terjelembab. Hati emak sakit sekali melihat anak yang disayanginya telah mengusirnya dan tidak mengakui dia sebagai emaknya. Emak kembali ke gubuk reotnya dan dia terus menangis sepanjang jalan.
Sesampainya di rumah, emak masih terus meratapi anaknya. Karena hati emak teramat sakit, dia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”.
Tiba-tiba angin berhembus dengan dasyat, petir menggelegar, Porak-porandalah kapal si Lancang karena kutukan emak. “Emak…., si Lancang pulang,… maafkan aku Mek”, teriak si lancang. Barang-barang yang ada di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang dalam kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya. Sejak peritiwa itu, masyarakat Kampar meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar disebabkan oleh munculnya tiang bendera kapal si Lancang di Danau Lancang.
Post a Comment